Thursday, September 8, 2016

Mutilasi dalam Peristiwa dan Cerita

WARGA Pontianak dua hari lalu geger dengan berita temuan potongan kaki di sebuah perkebunan sawit di Sungai Malaya, Kecamatan Sungai Ambawang, Kubu Raya, Pontianak. Awalnya, beberapa pihak menduga bahwa potongan kaki itu merupakan bagian tubuh dari korban mutilasi. Namun, dugaan awal meleset. Tak jauh dari ditemukannya potongan kaki itu ada perban yang terbungkus plastik. Temuan itu menggiring polisi untuk menyelidiki rumah sakit. Setelah menyelidiki beberapa rumah sakit, didapatilah fakta bahwa kaki itu milik seorang pasien yang sudah diamputasi karena terjangkit tumor ganas.

Beberapa bulan lalu, peristiwa mutilasi terjadi di Melawi, Kalimantan Barat. Pelakunya adalah polisi bernama Petrus Bakus, memutilasi dua anak kandungnya sendiri. Diduga, selain karena konflik internal dalam rumah tangga, polisi itu mengidap schizophrenia, penyakit kejiwaan yang membuat pengidapnya sering berhalusinasi, juga melakukan tindakan di luar akal sehat karena merasa mendapat semacam bisikan dari seseorang atau sesuatu.


Kasus mutilasi yang banyak dibicarakan selama sepuluh tahun terakhir dilakukan Very Idham Henyansyah yang akrab disapa Ryan. “Jagal dari Jombang”, demikianlah orang-orang menjulukinya setelah pada bulan Juli 2008 korban-korban yang dibunuhnya ditemukan. Sejauh ini ada sebelas korban yang dibunuh Ryan.

MUTILASI menjadi kisah dalam beberapa film dan novel. John Doe dalam film Se7en adalah pembunuh berseri yang membuat dua detektif kelimpungan. Ide cerita film ini berdasarkan “tujuh dosa maut” yang disebut dalam Alkitab. Film misteri-detektif ini alurnya bergerak cepat: ada tujuh pembunuhan, satu pelaku.

Pembunuhan-pembunuhan dalam film ini sadis; tapi filosofi—bahkan doktrin teologis—yang dijadikan dasar John Doe untuk melakukan pembunuhan itu mengentak kesadaran penonton akan dunia yang makin bergelimang dosa dan kejahatan. Ia mendapuk dirinya sebagai hakim, utusan Yang Mahatinggi untuk memberi hukuman dan peringatan kepada manusia.

Se7en
, dengan muatan filosofis itu, menjadi film yang tak hanya menyuguhkan teror dan ketegangan—penyelidikan bahkan tidak ditampilkan terlalu detail. Film ini menjadi tegang sekaligus reflektif, mengajak penonton berpikir: dunia seperti apa yang sekarang kita tinggali?


Novel Career of Evil yang ditulis Robert Galbraith (alias J.K. Rowling) mengisahkan mutilasi yang dihubungkan dengan kejahatan seksual. Salah satu terduga pelaku mutilasi diduga kuat mengidap pedofilia, tertarik secara seksual pada anak-anak prapuber. Di awal penyelidikan, terduga pelaku mutilasi juga ada yang disinyalir mengidap acrotomophilia, jenis penyimpangan seksual yang pemuasannya didapat dari fantasi atau tindakan yang melibatkan orang yang diamputasi.


Dalam novel ini, bab-bab khusus yang berisi serpihan-serpihan kisah tentang si pelaku mutilasi lebih menekankan pada kekejaman yang ia rencanakan, serta beberapa peristiwa dan pengalaman ketika melakukan tindak kejahatannya. Pengarang hendak membawa pembaca masuk dalam kengerian yang ada di pikiran sekaligus perbuatannya—tentang kepuasan membunuh, anggapan rendah terhadap wanita, juga proses membunuh dan memutilasi.

DALAM bukunya berjudul Mutilasi dalam Perspektif Kriminologi, Tinjauan Teoritis Lima Kasus Mutilasi di Jakarta, Mohamad Fadil Imran menyatakan bahwa karakteristik para pelaku memiliki kesamaan, yaitu kaum urban. Sepanjang tahun 2000 hingga 2010, ada 36 kasus mutilasi terjadi di Indonesia. Sepanjang tahun-tahun itu, mutilasi pernah terjadi di Jakarta, Medan, Surabaya, Yogyakarta, Bali, Pekanbaru, Jambi, Bogor, Bandung, dan Banjarmasin (halaman 23). Di buku yang sama ditulis, mutilasi di Indonesia mulai mendapat publikasi di media pada tahun 1963. Harian Kompas pada tahun 1963 memberitakan kasus mutilasi yang diberi judul “Istri dan Anak Dimutilasi Suaminya Sendiri”.

Baik dalam film, novel, ataupun peristiwa, mutilasi memiliki tiga kecenderungan yang perlu dijadikan catatan. Pertama, terjadi di kota besar. Masyarakat kota besar penuh dinamika dan gejolak hidup. Tantangan untuk bertahan di kota besar tak jarang membuat manusia berpikir pendek. Kedua, pelaku mutilasi sering diidentifkasi mengidap gangguan kejiwaan. Bahkan, seperti yang disebut dalam film Se7en, si pembunuh mengaku sebagai utusan dari Tuhan. Terakhir, dari beberapa kasus yang telah terjadi, mutilasi dilakukan untuk membuat pelaku menghilangkan jejaknya, sulit dideteksi. (*)

*) Sidik Nugroho, mahasiswa dan novelis; novel terbarunya berjudul Neraka di Warung Kopi, juga bercerita tentang mutilasi. :-)

Friday, August 12, 2016

Jadi Mahasiswa Lagi

Kemarin (11 Agustus), selesai daftar ulang, resmi jadi mahasiswa S1 Jurusan Ilmu Hukum Universitas Tanjungpura, Pontianak.

Jadi mahasiswa lagi... tak pernah terpikir sebelumnya. Setelah lulus dari Jurusan Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Malang tahun 2006, saya tidak pernah berpikir untuk berkuliah lagi. Namun, beberapa tahun belakangan, ada beberapa hal yang mengusik saya. Hal-hal yang mengusik saya berhubungan dengan misteri, tindak kejahatan, juga ketidakadilan sosial.

Saya terusik dengan kematian Angeline, tewasnya Salim Kancil, kematian Mirna, dan beberapa peristiwa lainnya. Misteri-misteri itu tak hanya membuat saya membaca berita-berita tentang kejahatan dan kematian, tapi juga lebih banyak membaca cerita-cerita bertema besar misteri, seperti yang ditulis S. Mara Gd, Sir Arthur Conan Doyle, Robert Galbraith alias J.K. Rowling, Agatha Christie, juga John Grisham.

Dan bukan hanya membaca, saya pun menulis cerita-cerita dengan tema besar yang mirip. Melati dalam Kegelapan (2014), Tewasnya Gagak Hitam (2016), dan Neraka di Warung Kopi (2016) adalah karya-karya saya dari hasil perenungan terhadap kasus-kasus kejahatan yang saya baca atau renungkan. (Karya-karya saya bisa ditengok di situs SidikNugroho.Com.)

Akhir Agustus perkuliahan akan dimulai. Saya akan lebih banyak mendengar, belajar, juga berdiskusi tentang hukum. Blog ini dibuat untuk membagi catatan-catatan selama kuliah yang mungkin bisa jadi pembelajaran dan perenungan bersama, atau memantik diskusi lebih jauh.